Prelude to Forgotten ‘Silalatu’ Cover Art (Grimloc Records, 2020)
Silalatu punya banyak cerita dengan waktu pengerjaannya yang tidak banyak kala itu. Ya, waktu memang tidak boleh dikatakan tidak tepat, karena ianya tidak salah. Mungkin lebih kepada penerimaan keadaan yang memaksa. Oke mungkin saya terlalu berapi-api dalam memulai paragraf blog ini. Tapi ini FORGOTTEN! Saya tidak bisa menepis persepsi saya tentang mereka: kemarahan, berapi-api!
Sebelumnya, ini adalah kali kedua saya mendapatkan kesempatan bekerjasama lagi dengan Death Metal paling panas dari Ujung Berung Bandung ini, tentunya yang pertama ketika menggarap kover artwork dan layout untuk Kaliyuga (SEMS records, 2017).
Ketika mendapat panggilan dari Addy Gembel soal mengerjakan album ini, ia mencoba menguraikan secara garis besar bahwa materi dalam album ke tujuh Forgotten ini merekam tentang konflik yang yang terjadi disegala penjuru negri dan berbagai macam eskalasi yang memakan banyak korban baik nyawa maupun harta benda. Judulnya sendiri adalah ‘Silalatu‘, yang bisa diartikan sebagai bunga api. Penggambaran Silalatu itu seperti ketika kita melihat sebuah benda terbakar dalam skala yang besar, dalam jilatan api akan muncul titik-titik api kecil yang beterbangan kesana kemari. Hm. Oke, kalimat lainnya mungkin bisa disebut dengan bara api yang terbang.
Proses pemahaman konsep album Forgotten lumayan memakan waktu bagi saya, disamping timeline di berbagai pihak yang mengalami anomali karena keterbatasan gerak dan fokus kita pada keadaan selama pandemi. Keterbatasan yang menjadi bentuk normal yang baru. Sementara guratan dan tangkapan visual masih terus menjadi wacana dikepala. Sebuah tantangan bagi saya untuk menggambarkan sebuah keadaan hari ini sekali seperti yang ada dipenggalan lirik-lirik Addy Gembel kedalam sebuah metaphora yang pas untuk saya pegang dan bisa nyaman bermain didalamnya. Sebuah etik yang harus saya pegang teguh.
Dalam memori saya merekam, saya ingat dengan keadaan situasi yang mengharuskan tidak kemana-kemana karena isu lockdown pandemic korona dan segala tetek bengeknya, sayapun hanya bisa memantau dan membaca dari sudut timeline twitter, bagaimana Taman Sari Bandung yang saya tau sedang diporak porandakan kerakusan orang orang yang punya kepentingan tanah disana, rakyat bawah dan mahasiswa yang berdemonstrasi melawan angkuhnya aparat disana, bagaimana pembakaran bukti bukti di gedung sebuah Mahkamah yang katanya Agung, dengan beberapa yang lainnya membelokkan isu yang sangat tidak masuk akal, keluhan-keluhan marah orang-orang, atau lebih dekat lagi dari pihak Forgotten sendiri, saya ingat Gembel dkk mengorganisir beberapa posko keselamatan di Bandung sana, dan Bang U sang Morgue Vanguard, yang terllihat sibuk memobilisasikan informasi-informasi terbaru seputar keriuhan demonstrasi kepada teman-teman di lini masa sosial media, saya ingat bagaimana harus menebus resep obat dari dokter untuk partner saya yang sakit dan menunggunya di rumah sakit saat-saat itu. Saya ingat itu semua.. sungguh hal yang sangat chaos. Terlihat damai dan adem terjadi untuk mereka yang ada diatas. Ironinya, manipulasi kita semua berbahagia ada di acara acara lawakan tv tidak bermutu yang lagi lagi mempertontonkan kita yang dibodohi. Distopia.
Oke. Cukuplah dengan paragraf yang gagal melukiskan pensuasanaan sepanjang semester awal 2020. Karena ini semua tidak terlihat seperti nyata. Tapi itulah yang menjadi amunisi ilustrasi kover ini keluar. Dari beberapa sketsa awal yang saya tawarkan akhirnya bersambut dengan pilihan Forgotten sendiri. Konsep tari kematian, atau selanjutnya di tulisan ini saya beri titel the Danse Makabre. Dan penggarapan ilustrasinya adalah masa-masa berjuang semua orang. Dihadapkan dengan 38 x 76 cm arches 300gsm, sekali lagi diselingi cerita cerita kehidupan yang morat marit, sosial yang rusak dan manipulatif, serta isu nasional yang sangat buruk. Saya mencoba untuk tetap berada track timeline pra-produksi album ini dirilis.
The Danse Makabre (Dance of Death), menjadi literasi saya menggambarkan era konsentrasi ini tercetus. . Dimana keadaan distopis, ironik yang terjadi. Chaos. Juga, inipun semacam pemahaman saya mengenal Forgotten secara personal. Addy Gembel seorang pemikir sinis dan penulis yang sarkas, sering menggunakan literasi-literasi budaya Sunda dalam setiap tulisannnya. Gangan, gitaris adalah seorang guru gitar yang juga mendalami instrumen budaya tataran sunda seperti Kacapih dan Karinding. Dan memang. beberapa metalhead dari Ujung Berung sana sangat kental dengan seni budaya Sunda dan aktif dalam sebuah pagelaran bersama semacam Karinding Attack. Hal berbau budaya linguis sangat melekat bagi saya ketika menimbang visual untuk Forgotten. Saya mengambil tematik tarian Purnamasari Silalatu, drama tari yang menceritakan kehancuran kerajaan Pajajaran kala itu. Oke, berhenti sampai disini, saya tidak mencoba untuk menggali pemahamannya drama tari ini Purnamasari ini disini. Singkat cerita esensi Tari, Silalatu, dan Forgotten tidak bisa hilang dalam bayangan saya yang memang sedang mengobservasi visual-visual yang akan saya tawarkan dalam sketsa pendahuluan, tanpa melupakan nilai-nilai dari Death Metal itu sendiri.
Setelah proses pengerjaan lukisan, scanning, dan beberapa adjustment digital, kemudian masuk ke tahap layout tata letak. Data lukisan bentuk file saya kirim via drive ke email Grimloc Records untuk di eksekusi lanjut. Dan eksekusi lukisan menjadi lebih panas dan penuh kemarahan, ketika berada ditangan Herry Sutresna aka Morgue Vanguard di departemen layout dan graphis mengaplikasikan tata letak dalam bentuk booklet sleeve cd. Adalah bang U, begitu panggilan akrab saya untuk dia, memberikan beberapa alternatif. Termasuk salah satunya, layout final yang mungkin sedang kalian pegang dalam bentuk fisik sekarang ini. “Ini Death Metal. Death Fuckin Metal” begitu kurang lebih percakapan kita via text whatsapp waktu itu.
Kejeliannya dalam mengambil perspektif yang berbeda, menjadi sebuah pemahaman berharga saya dapatkan dari interaksi ini, bagaimana dengan beraninya, Bang U dengan sudut yang berbeda, meng-zoom in dan fokus dibagian detil objek lukisan yang lain, bagi saya itu adalah pemahaman yang menyegarkan (jika ianya bukan literasi yang baru tapi jarang untuk diulik lihat) ketika saya melihat kembali apa yang saya kerjakan sebelum ini, beberapa referensi rilisan yang ada di masa sekarang ini. Saya tidak katakan disini, “membosankan” ketika berbicara kecendrungan apa yang terjadi didunia ilustrasi dan visual yang ramai di hari ini. Anggaplah ini pencerahan. Tentang memandang sebuah hal yang panas menjadi lebih liar. Salut Bang U. Good Shit For Good Friends.
Oya, mungkin ketika jurnal ini saya post dan kalian baca, kalian mungkin sedang memegang bentuk rilisan fisik Forgotten Silalatu ini dan mendengarkannya, Selamat Menikmati.
Forgotten Silalatu, Mayhem on plastic, 18 dec 2020. Menutupi tahun bangsat!
Order now via www.grimlocstore.com