Feel so honoured to get a chance and participated on MATERNAL DISASTER 20 Years Anniversary Assault Alarm, with 20 other friend, artist/illustrator. Here’s the preview works, for more info and online catalog just check at www.maternaldisaster.com
About the Issue:
We thrived in the shadows, and it’s thanks to you that we’ve thrived at all. As we celebrate our 20th year, we delve even deeper into the abyss. Our latest drop is a macabre masterpiece, a sinister symphony crafted by the hands of 20 twisted illustrators, each reimagining our iconic Threat logo through their darkest nightmares. Dive into a world of despair and chaos, where the unconventional reigns supreme. This collection embodies the very essence of Maternal Disaster, a sinister fusion of art. To those who’ve stood with us through the chaos, thank you for your unwavering loyalty. Your devotion is the blood in our veins, the ink in our dark tales.
Salah satu band yang menjadi saksi muda penanda saya diumur belia. -Tentang pengertian bagaimana bersikap, menilai, dan karakter meskipun mereka tidak mengumbar kewajiban moral.
…mereka, The Flowers.
Bukan berlebih ketika mencoba melihat kebelakang, bagaimana seorang anak muda 15 tahun di Pekanbaru sana yang terpukau dengan style yang mereka tawarkan, berlari mendekat ketika ada kesempatan pemutaran lagunya di radio dan tv lokal pada waktu itu hanya untuk merasakan sensasi menyenangkan dalam hitungan durasi single “Tolong Bu Dokter”, memburu kasetnya, memahami dengan sendiri, kemudian tumbuh kembang merantau beriringan waktu dengan karya meraka dan hidup selanjutnya sebagai pekerja seni malah berkeinginan dan tak jera mengungkapkan mimpi ambisius untuk suatu waktu bisa berkerjasama dan melakukan sesuatu untuk mereka. Haha!Dan ya, rentang waktu diawal berkarir berkecimpung dunia ilustrasi dibeberapa interview media, Aku selalu mention The Flowers di setiap pertanyaan tentang band apa lagi yang ingin di garap ilustrasinya.
Semacam itu.
Keberadaan The Flowers termasuk yang sangat jarang sekali tampil waktu itu, sampai kemudian muncul dengan ‘Still Alive and Well’ di 2009, dengan “Rajawali” sebagai intisari dan sikap wajib di tongkrongan dan bersenang. Brengsek, semakin menjadikan mereka salah satu band yang selalu aku tunggu setiap kali show dan berita tentang mereka. Bahkan menyempatkan diri untuk datang ke ibukota hanya untuk mengejar waktu menikmati show mereka ketika masih berada di Bandung dulu, adalah sebuah kewajiban. Ungkapan perasaan dan keputusan daripada menyesal tak mendatangi show mereka. Sekedar bernyanyi, berkeringat bersama para loyal lainnya.
***
Adalah di satu larut malam, beberapa hari setelah masuk September 2019, Dado sang drummer mengontak saya membawa kabar baik the Flowers akan merilis album ketiga mereka, dengan waktu yang tidaklah panjang dalam proses lini masa rilisnya, serta tak lupa menanyakan perihal kesediaan saya untuk menggarap illustrasi untuk album yang di beri tajuk Roda Roda Gila. Gila memang adalah sebuah kesempatan seperti suatu keinginan yang menjadi nyata. ———“Yak sikat gas, dong!” ——— Begitu kirakira ijab kabul yang tak pakai lama ini. ..setelah selama ini!
Obrolan berhenti sampai disana. Esoknya Dado mengirimkan file dalam bentuk wav, mixing demo 5 track yang akan muncul di album baru ini.
Pengalaman pertama mendengarkan demo ini seingatku tidak ada perlawanan yang bertentangan dalam hati untuk mereka di materi dulu dan materi yang terbaru, track yang disuguhkan waktu itu seperti biasa khas The Flowers, ..selalu memancing untuk menghanyutkan! Aku ingat, bagaimana senyum mengembang ketika mendengar geraman emosi khas Njet Barmansyah di lagu ‘Ngehe’ (btw, part N-G-E-H-E adalah keputusan nyeleneh yang sangat khas) atau terdiam di sesi gitar Boris Simanjuntak di ‘Tuhan Ikut Bernyanyi’ yang syahdu itu. Aku rasa, sesuatu yang sangat spiritual dia coba suguhkan, sesuatu yang ‘dalam’ bukan hanya Blues belaka. Hails! kemudian Tenor sexsopan Eugene Bounty yang membius layaknya kenikmatan di negeri seribu satu malam dalam lagu Bebek dan Panda. Raungan distorsi berpadu pukulan berat memabukkan Dado Darmawan. Gebukan tak main main, bak sedang siksa ranjang, yang bikin goyang. Sesuatu yang Rock n Roll! Asli, Nakal tapi Goyang.
Mereka masih melestarikan itu! Mereka ‘Bernyanyi Sampai Mati’.
***
Dalam proses penggalian ide kreasi di fase awal selain mencerna materi dan lirik yang akan ada di Roda Roda Gila nantinya, melihat kebelakang, membuka kembali atau sekedar membaca apa yang terancang menjadi desain di sleeve album pendahulu 17 tahun Keatas (1997) dan Still Alive and Well (2010) adalah jembatan untuk menemukan jalan inspirasi.Dari belia ketika melihat kover album 17 tahun keatas aku selalu terpaku dengan bentuk objek sentral, sebuah bentuk merah menyerupai mata Horus dengan sulur-sulur hitam yang lain membentuk formasi cakra melingkar. Ikon catchy yang ditemukan dan didesain oleh seorang AryBud pada tahun ’96 silam telah ditakdirkan abadi dengan kebesaran materi album perdana tersebut. Cult! Mencuri perhatian itu pulalah yang dengan bebasnya aku coba ulangi kembali entitas tersebut (di Roda Roda Gila). Hm, sesuatu simbolik memang sepertinya tidak pernah hilang dari karakter The Flowers bahkan sublim bentuk paduan bunga dan tengkorak yang tergambar didalam album ‘Still Alive and Well’ sebuah design logo yang jalanan adanya.
Begitu juga dalam pembuatan logotype font terbaru untuk mereka. Aku mencoba sebisa mungkin berada di koridor 2 album sebelumnya hanya kali ini lebih mematangkan kurva garis, kemudahan yang diberikan software digital sehingga identitas sebagai sebuah band Rock yang vintage dan mature pun bisa terlihat megah untuk siapapun yang menyaksikan. Ah, cukup sedikit saja kajian tinjauan desain disini, karena ‘rasa’ kupikir lebih memiliki.
Oke kembali ke awal, dari sini ide konsep pun bermula. Merotasi bentuk tersebut sehingga mengalami perluasan makna (yang mengikut kepada garis yang ada disekitarnya). Sebuah manuver awal yang baik untuk mendapatkan kebebasan, pikirku. Seperti itu. Citra bohemian dan genrenya yang flamboyan kemudian menginspirasi untuk menyematkan sebuah objek yang melambangkan keindahan kasih sayang dan kedamaian.
Beberapa ide aku kunci untuk sementara, beberapanya adalah coretan dan notes kata kunci. Tentang apa Roda Roda Gila itu sedikit banyak terungkap, tapi pertanyaanku lagi di malam-malam itu, ..sama kah? Samakah dengan apa yang Boris dkk bayangkan?
Boris dan Dado menyempatkan diri datang ke studio di kediaman waktu itu disudut Bojongsari, Sawangan. Hanya untuk sekedar hearing session materi dan cerita dibalik proses kreatif. …Oke, yang aku ingat malam itu kebanyakan obrolan ringan intim sampai larut malam. Pastinya aku tidak melepaskan kesempatan mengorek lebih dalam makna dan harapan Boris dan Dado tentang frasa ‘Roda Roda Gila’ ini. Adu gelas untuk jawaban pertanyaan besar itu. Sebuah sosok imaji yang sefrekuensi Boris dan Dado miliki sesuai wacana yang berputar di pikiranku sebelumnya. Sontak goresan coretan langsung bergulir melaju didepan mereka sambil menyimak apapun riuh cerita kita waktu itu dan mereview sketsa kasar langsung didepan Boris dan Dado. Ya! singkatnya, terberkatilah malam itu.
***
***
Hari ini, 4 tahun berjalan sejak dirilisnya album Roda Roda Gila. Personal, mendengarkan mereka di hari-hari sekarang, tetap terasa jejak yang sama layaknya sensasi awal ketika mendengarkan. Masih menjadi ingatan yang segar sedari mula dan tak banyak yang tau bahwa ini adalah pengerjaan ilustrasi kover yang sangat cepat pernah dibuat, pengerjaan yang dilakukan dengan sepenuh hati tanpa ada hambatan, aral, pikiran yang berarti. Semenyenangkan itu hingga memakan waktu kurang dari 14 hari termasuk proses proofing sample cetak dan produksi, pun tak terasa. Meski beberapa eksekusi agar selaras dengan keterbatasan dan waktu yang kita punya mengharuskan kompromi dan rem segera. Tapi seperti penggalan di Roda Roda Gila, “… Susuri jalan yang gak pernah berujung, Tak perlu lurus harus tancap gas!”
Ya seperti itu lah.
ALL HAILS FOR THE KING THE OWNER OF LONELY HEART! -rajawali
Manager dari Komunal, Harry Purwanto datang menelpon saya akhir April lalu mengisahkan soal rangkaian show Komunal bersama Jangar (Bali) yang di prakarsai oleh Kerass! dan Berita Angkasa di 2 kota yaitu Surabaya dan Malang Mei 2022 ini, dan membutuhkan materi ilustrasi untuk kepentingan artistik promo yang akan mereka lancarkan. Agak padat dan rapat mengingat timeline yang singkat ini memang. Tapi saya tidak bisa untuk menolak dengan kesempatan yang ada.
Mendengar tentang plan show mereka di dua kota timur jawa ini, tangkapan visual saya langsung mengacu kepada ikon/ simbol pemerintah kota Surabaya sebagai ibukota dari provinsi Jawa Timur itu yaitu Sura dan Baya (Hiu dan Buaya), …sesimple itu.
Selanjutnya menarik hubungan dengan 2 band yang pernah saya kerjakan ilustrasi untuk cover art album, Komunal (Hitam Semesta) dan Jangar (Jelang Malam) dengan perlambang ikon Surabaya dan Malang, saya mencoba mengambil ikon meraka yang catchy dan menggabungkan semua hal yang merepresentasi tajuk ini dalam sebuah kesatuan layout yang kemudian menjadi teaser awal dari promo show ini.
Yak, kebutuhan awal kita dałam mempromokan berita baik ini adalah sebuah teaser dan saya datang dengan idea visual kasar dari sketsa yang akan di rakit final menjadi poster resmi Jangar Komunal di Surabaya Malang nanti.
Proses pengerjaannya sendiri saya lakukan dengan sketsa awal pensil diatas kertas, dieksekusi ke lukisan digital menggunakan Procreate.
Beberapa minggu lalu bertandang ke Clinicterror Studio di Bandung. Beberapa hari diam disanan akhirnya berkesempatan membuat beberapa project screen printing poster, salah satunya diambil dari artwork yang dibuat untuk Rajasinga “Penjara” yang merchandise dalam bentuk tshirt yang sudah dirilis duluan Mei kemarin, dibawah lisensi Negrijuana.
Seperti sebuah urusan lama yang diangkat jadi bahan obrolan kembali dengan Reza dari Clinicterror, ketika kita membahas proses pengerjaan screen printing kali ini. Beberapa memori menguak, mengikut contoh kasus yang menjadi kendala kita (saya dan Månstråle) waktu silam, sampai ke perkara teknis sablon itu sendiri. Dari riset dan membeli material cat di Pagarsih (adalah spot surga wilayah selatan, tempat material yang berhubungan dengan teknik cetak di Bandung), pecah warna layer artwork, beli dan potong kertas, pemasangan munil baru, proses afdruk dan pengadukan cat adalah ritual yang biasa dalam penyablonan, dan ini benar-benar menjadi semacam menarik kembali aktivitas lama yang beberapa tahun dulu sering dilakukan semasa di Bandung, glad to see you old big business!
Oke, mungkin yang menyempatkan diri membaca jurnal ini disini, bingung atau heran kenapa saya sangat mencintai produk teknik cetak saring ini, sebagai pendahuluan, mungkin bisa menyimak dari wacana yang dirangkum oleh wikipedia tentang apa screen printingitu sendiri.
Secara simplenya screen printing poster ini adalah upaya dalam rangka membuat karya dalam jumlah yang banyak sekaligus atau repro yang digunakan oleh seniman ilustrasi dan cetak. Sebuah cara tradisional yang klasik yang mungkin sedikit dilupakan karena ketidak praktisan dan prosesnya di perkembangan digital printing yang marak sekarang. Tapi menjadi sebuah keistemewaan Screen Printing Poster adalah penggandaan bentuknya menjadi sebuah karya dari pertama sampai akhir (edisi atau jumlah) itu pastinya adalah sesuatu yang orisinal, yang tentu saja ini tidak didapatkan ketika merepro dengan laser/ inkjet print yang sering kita temui. Hasilny yang bisa berubah antara satu kertas dengan edisi kertas poster lainnya tidaklah selalu sama, baik itu karena pertimbangan tekanan gesutan ataupun teknis ketika loading cat, yang menjadikan Screen Printing Poster itu adalah sesuatu yang otentik, Jangan mengharapkan ini adalah sebuah produksi yang stagnan kualitasi hasilnya seperti Digital Printing. Didukung oleh gramasi kertas yang benar, ukuran yang sesuai dengan keinginan artistnya sendiri, penggunaan kertas yang memiliki karakter acid free, kedetilan komposisi cotton yang pas, memberikan poster sablon ini memiliki ketahahan dan awet kelembapan. Oke di sini kurasa sudah jelas darimana datangnya screen printing adalah sebuah hal yang spesial.
Btw, teaser ini adalah rekap momen video yang sempat terekam dalam proses pembuatan screenprinting poster yang saya rilis hanya dalam 13 edisi, 3 palette warna diatas kertas COG, 18”x24”, 300gsm. Tersedia di shop sekarang.
Hitam Semesta. Membius memori kembali di 13 tahun lalu ketika menghasilkan sesuatu yang secara personal adalah karya terjujur yang pernah dibuat.
Terus terang aku bingung memulai dari mana untuk menulis tentang Hitam Semesta sebagai highlight cover story.
Hmm. Mungkin bisa dimulai dengan menceritakan dari awal tentang band satu ini kali ya? Sesungguhnya aku tidak mau terjebak romantisme belaka disini, tapi momen berbagi kehidupan bersama di sebuah rumah di sudut jalan Manteron 42 Sukaluyu Bandung waktu itu; mempunyai cerita, proses intimasi mengenal karakter mendalam lebih personal sampai terjadi hubungan kerjasama kita yang sangat bermutu, salah satunya ilustrasi kover Hitam Semesta ini dan proses kreatif penggarapan layout artistik mereka di album berikutnya, Gemuruh Musik Pertiwi adalah kurasa langkah awal yang bagus untuk mengingat yang samar dan tidak detil dalam tulisan ini
–Oke! Aku rasa on track sekarang, semoga ini awal yang cukup sebagai pembuka.
Sumatera Joint Ritual, adalah cara kami menyebut spirit rantau kami yang jauh dari kampung halaman sebagai identitas untuk semua cerita dan mimpi banyak terbentuk waktu itu. Bagaimana tidak ada obrolan seru selain membicarakan musik dan bualan sambil seruput kopi atau teh botol segar yang ditinggal si bos nasgor yang mangkal depan jalan rumah kontrakan setiap malamnya, membuka program software grafis semacam Adobe atau CorelDraw mendesain logo atau artwork yang bisa berhari hari (FYI, Doddy Hamson menggarap kover vektor Panorama-nya yang fenomenal dikomputer kamar kala itu :D), karena memang kita hidup tidak mengenal tenggat waktu, kuliah? Itu sambil lalu saja, lebih hanya simbol mengabdi dan pergaulan saja, bermain gitar dengan amplifier yang kencang, sebuah kebebasan yang tidak mungkin bisa dilakukan dirumah ketika kamu hidup bersama orang tua dan keluarga, kemudian aksi air-headbang ketika beradu gelas dalam privat ritual kita di rumah itu, permainan putar balik kata fakta agar tidak kalah dalam forum ritual duduk melingkar adu gelas, Distorsi Mulut Setan! …Atau datang ke studio rental untuk sekedar jamming yang mana waktu itu sudah sama lagak total gaya dengan aksi panggung sesungguhnya, bahkan celetukan jokes seperti “Slayer (/) Pantera kayak begini ngga ya” seloroh di kontrakan kita ketika tanggal tua menghantui, hidup sederhana sehingga (terpaksa) tidak untuk banyak mau dulu. Ya, kebanyakan hal-hal mandiri seperti itu. Hingga waktunya tiba, beberapa dari kita ada yang bertahan, ada yang ditarik ‘dealer‘ (-keluarga untuk jalan kebaikan). Haha.
2003 adalah awalnya Komunal tercetus. Dari bentuk ketidakpuasan band sebelumnya, Ragadub. Doddy Hamson ingin yang lebih lagi. Sesuatu yang lebih menyerang. Agresi. Impiannya ini selalu dia utarakan, aku ingat bagaimana berapi-apinya dia waktu itu.
Doddy Hamson, Muhammad Anwar Sadat, Arie Khomaini, Reza Ai, boleh dibilang bentuk talian pertemanan yang menghasilkan hal-hal berkualitas sejauh aku bisa mengingat. Semangat berkawan yang semakin kuat belajar dari pengalaman mereka sebelumnya, menghantarkan visi dan karakter ketujuan yang di mau.
Bermodalkan nyala api yang nekat, album pertama dirilis dengan tajuk Panorama di 2004, dibawah bendera Hamson Killer Records. Label yang ditenggarai adalah usaha halal Doddy Hamson mengumpulkan uang dari hasil kelilingnya menjual makanan anjing dan kucing selama beberapa bulan di Ibukota.
Review yang memuaskan, bisik bisik dari mulut ke mulut, sedikit trik media-media standar, Panorama-pun menuai pujian. Angin segar mencerahkan dikancah musik metal yang saat itu sedikit membosankan. Selentingan disebut ‘Metal Rantau’, dengan embel embel “Segan” mengikuti. Akhirnya, panggung demi panggung dijejali. Sesuai namanya, tidak ada yang tidak ikutan sibuk jika Komunal punya jadwal panggung, terutama untuk kita kita yang berdiam dan tinggal di Manteron 42 waktu itu. Kekeluargaan. Aku pribadi selalu tidak menolak sekedar menjadi roadies atau tim hore Komunal atau sekedar ikut menyumbang suara di lagu ‘Dalam Kerinduan’ disetiap panggung lagu itu dinyanyikan. Yang pasti, rumah itu sepi ketika kita keluar untuk menuntaskan panggung, dan baru ada aktivitas kembali ketika kita sudah pulang kembali kerumah. Kehidupan seperti yang kita inginkan sejauh kita mau pada masa itu, Komunal melaju dengan Panorama, dan aku sedang memanaskan mesin yang meradang bersama Rajasinga untuk ‘Pandora’. Goodtimes.
Kegiatan rutin terjadi seperti ini sampai ada waktunya kita berpisah. Tidak diperpanjangnya sewa kontrakan Manteron 42 itupun mewajibkan kita untuk berpencar, mencari kehidupan bertempat tinggal yang baru. Doddy Hamson menggambar situasi terkini waktu itu dalam selagu Disintegrasi :
Hamparan membentang/ Mari menerkam menerjang/ Tinggalkan yang lelah/ Semangat takkan meredup/ Sambutlah kami kawan barumu untuk beraksi/ Disintegrasi/ Menatap ke depan/ Membangun budaya baru/ Barisan terdepan/ Realisasi masa depan
Kehidupan militan yang dipunya menghasilkan perjumpaan jarang tapi berkualitas, Komunal mengumpulkan banyak materi dalam kurun 1 tahun dan bersiap masuk dapur rekaman kembali. Massive studio, dibilangan Cigadung Bandung Utara dikultuskan sebagai tempat rekam untuk 18 materi baru Komunal. Hampir satu tahun juga, proses rampung sampai mastering dan penemuan titel yang cocok untuk album kedua ini tercetuskan. Hitam Semesta. Diambil dari satu nomor paling gelap diantara 18 lagu lainnya. Track lagu yang paling aku favoritkan dalam album ini.
Obrolan untuk menggarap kover sudah beberapa kali dicetuskan oleh Komunal. Gamang? pasti! Meskipun kita sudah mengenal satu sama lain, tapi sungguh adalah sesuatu yang tidak aku bisa sangkal ini adalah kehormatan dan sebuah kesempatan dengan tanggung jawab yang besar. Berawal dari membuat beberapa desain tshirt untuk Komunal di era awal mereka mulai membangun departemen merch Komunal. Doddy Hamson pula juga yang semacam memberikan energi dan spirit yang besar untuk aku mengisi kekosongan posisi ilustrator waktu. Sangat positif sekali dia. Sampai ketika waktunya memungkinkan untuk serius, akupun mulai menggarap ilustrasi untuk project ini. Sketsa pendahuluan sudah beberapa kali aku tawarkan, beberapa menjadi ilustrasi pendamping di sleeve lirik, hingga akhirnya dicetus objek yang diinginkan untuk menyimbolkan Komunal dan Hitam Semestanya itu sendiri dengan ikon Gagak. Aku lupa bagaimana gagak menjadi ikon mereka waktu itu, yang pasti Doddy Hamson yang datang mengutarakan idenya tentang ini dengan sketsa outline/ garis khas Doddy Hamson yang avant garde.
Hitam Semesta, sang gagak yang membusung terlihat, aku buat di kertas art murahan Concorde paper, 59×42 cm waktu itu dengan teknis gambar menggunakan tinta china, akrilik, bahkan Tip-ex (!!). Dari segi teknis, ini adalah project pertama aku untuk beralih kebidang media yang lebih besar waktu itu, 2007. Ketidakpuasan pastinya bahkan ingin mengulang kembali kembali imaji Gagak yang ada sekarang kala itu, namun Doddy Hamson sekali lagi menegaskan, ini sudah cukup untuk menjadi visual dan perwakilan dari Hitam Semesta itu sendiri. Aku tidak bisa berbuat banyak lagi. Akhirnya, aku sendiri yang sedang mencoba upgrade keterampilan dan mengasah kebisaan dan eksperimen kala itu, menjadikan Hitam Semesta adalah titik balik dari perjalanan aku sebagai seorang perupa. Sehingga ianya kutetapkan sebagai sebuah masalah personal terse diri, hasil sebuah yang jujur, lebih ke raw, karena hanya berpikir menghidupi momen yang ada diwaktu itu menyediakan. Keterbatasan pengetahuan dan referensi yang seadanya kala itu tidak merubah semangat yang ada. Justru aku rasa ini nampaknya menghidupi spirit dan passion aku di masa itu, ketika aku mencoba mengumpulkan kembali tangkapan memori di hari ini.
13 tahun hari ini, Hitam Semesta itu dibuat, dan belum pernah dipublikasikan secara bentuk karyanya. Tidak semua memori atau potret kreatif pengerjaan ilustrasi kover yang bisa aku rangkum dan ungkap disini. Tapi tidak dengan ketika mendengarkan kembali tembang-tembang yang mereka lantunkan, aku masih merasakan seperti bagaimana catchynya part gitar dan anthem Medani yang spirit berbanding lurus dengan highlight momen kehidupan aku waktu itu yang katakanlah ‘no future’, dalam konteks: “tidak ada waktu selain hari itu”. Tarankanua, yang sebenar potret kehidupan kami pemuda rantau, yang menjadi pemicu tercipta dan bersandingnya Anak Haram Ibu Kota dari Rajasinga,… atau, sensasi pertama ketika mendengarkan gelapnya balada yang coba Doddy Hamson dalam tiap penggal Hitam Semesta itu sendiri, Membius. Musik mereka ini abadi, paling tidak itu yang terunggah di benakku. Atau kesamaan rasa dalam Higher Than Mountain, sensasi emosi masih tetaplah sama, dengan aku di 2007 yang on repeat mendengarkan materi mereka selama pengerjaan kover ini, begitupun di hari ini aku mendengarkan dan menulis essay di jurnal ini.
This works is Timeless. Aku tidak bisa menggugat klaim diksi penuh makna ini untuk sebuah karya yang pernah terjujur pernah aku buat, tanpa komodifikasi dan ekspekstasi, yang pastinya tidak lepas dari kebesaran 18 lagu yang ada didalamnya. Komunal: Born in Blues, Raised on Rock, and Grow up in Metal.
Heavy Metal Tetap Berkibar!
…because you know i am alone long way from home
KOMUNAL ‘Hitam Semesta’ & ‘Gemuruh Musik Pertiwi’
12″ Record and Double CD Coming Out Soon by Disaster Record.