Jangar & Komunal : Gagak & Ular Dalam Tatap Muka

Manager dari Komunal, Harry Purwanto datang menelpon saya akhir April lalu mengisahkan soal rangkaian show Komunal bersama Jangar (Bali) yang di prakarsai oleh Kerass! dan Berita Angkasa di 2 kota yaitu Surabaya dan Malang Mei 2022 ini, dan membutuhkan materi ilustrasi untuk kepentingan artistik promo yang akan mereka lancarkan. Agak padat dan rapat mengingat timeline yang singkat ini memang. Tapi saya tidak bisa untuk menolak dengan kesempatan yang ada.

Mendengar tentang plan show mereka di dua kota timur jawa ini, tangkapan visual saya langsung mengacu kepada ikon/ simbol pemerintah kota Surabaya sebagai ibukota dari provinsi Jawa Timur itu yaitu Sura dan Baya (Hiu dan Buaya), …sesimple itu.

Selanjutnya menarik hubungan dengan 2 band yang pernah saya kerjakan ilustrasi untuk cover art album, Komunal (Hitam Semesta) dan Jangar (Jelang Malam) dengan perlambang ikon Surabaya dan Malang, saya mencoba mengambil ikon meraka yang catchy dan menggabungkan semua hal yang merepresentasi tajuk ini dalam sebuah kesatuan layout yang kemudian menjadi teaser awal dari promo show ini.

Yak, kebutuhan awal kita dałam mempromokan berita baik ini adalah sebuah teaser dan saya datang dengan idea visual kasar dari sketsa yang akan di rakit final menjadi poster resmi Jangar Komunal di Surabaya Malang nanti.

Proses pengerjaannya sendiri saya lakukan dengan sketsa awal pensil diatas kertas, dieksekusi ke lukisan digital menggunakan Procreate.

Then, here we go…see you at the show! Cheers!

#np RAJASINGA “PENJARA” on Screen Printing Poster

Beberapa minggu lalu bertandang ke Clinicterror Studio di Bandung. Beberapa  hari diam disanan akhirnya berkesempatan membuat beberapa project screen printing poster, salah satunya diambil dari artwork yang dibuat untuk Rajasinga “Penjara” yang merchandise dalam bentuk tshirt yang sudah dirilis duluan Mei kemarin, dibawah lisensi Negrijuana.

Seperti sebuah urusan lama yang diangkat jadi bahan obrolan kembali dengan Reza dari Clinicterror, ketika kita membahas proses pengerjaan screen printing kali ini. Beberapa memori menguak, mengikut contoh kasus yang menjadi kendala kita (saya dan Månstråle) waktu silam, sampai ke perkara teknis sablon itu sendiri. Dari riset dan membeli material cat di Pagarsih (adalah spot surga wilayah selatan, tempat material yang berhubungan dengan teknik cetak di Bandung), pecah warna layer artwork, beli dan potong kertas, pemasangan munil baru, proses afdruk dan pengadukan cat adalah ritual yang biasa dalam penyablonan, dan ini benar-benar menjadi semacam menarik kembali aktivitas lama yang beberapa tahun dulu sering dilakukan semasa di Bandung, glad to see you old big business!

Oke, mungkin yang menyempatkan diri membaca jurnal ini disini, bingung atau heran kenapa saya sangat mencintai produk teknik cetak saring ini, sebagai pendahuluan, mungkin bisa menyimak dari wacana yang dirangkum oleh wikipedia tentang apa screen printing itu sendiri.

Secara simplenya screen printing poster ini adalah upaya dalam rangka membuat karya dalam jumlah yang banyak sekaligus atau repro yang digunakan oleh seniman ilustrasi dan cetak. Sebuah cara tradisional yang klasik yang mungkin sedikit dilupakan karena ketidak praktisan dan prosesnya di perkembangan digital printing yang marak sekarang. Tapi menjadi sebuah keistemewaan Screen Printing Poster adalah penggandaan bentuknya menjadi sebuah karya dari pertama sampai akhir (edisi atau jumlah) itu pastinya adalah sesuatu yang orisinal, yang tentu saja ini tidak didapatkan ketika merepro  dengan laser/ inkjet print yang sering kita temui. Hasilny yang bisa berubah antara satu  kertas dengan edisi kertas poster lainnya tidaklah selalu sama, baik itu karena pertimbangan tekanan gesutan ataupun teknis ketika loading cat, yang menjadikan Screen Printing Poster itu adalah sesuatu yang otentik, Jangan mengharapkan ini adalah sebuah produksi yang stagnan kualitasi hasilnya seperti Digital Printing. Didukung oleh gramasi kertas yang benar, ukuran yang sesuai dengan keinginan artistnya sendiri, penggunaan kertas yang memiliki karakter acid free, kedetilan komposisi cotton yang pas, memberikan poster sablon ini memiliki ketahahan dan awet kelembapan. Oke di sini kurasa sudah jelas darimana datangnya screen printing adalah sebuah hal yang spesial.



Btw, teaser ini adalah rekap momen video yang sempat terekam dalam proses pembuatan screenprinting poster yang saya rilis hanya dalam 13 edisi, 3 palette warna diatas kertas COG, 18”x24”, 300gsm. Tersedia di shop sekarang.

Blues Menuju Thrash : HITAM SEMESTA

Hitam Semesta. Membius memori kembali di 13 tahun lalu ketika menghasilkan sesuatu yang secara personal adalah karya terjujur yang pernah dibuat. 

Terus terang aku bingung memulai dari mana untuk menulis tentang Hitam Semesta sebagai highlight cover story.

Hmm. Mungkin bisa dimulai dengan menceritakan dari awal tentang band satu ini kali ya? Sesungguhnya aku tidak mau terjebak romantisme belaka disini, tapi momen berbagi kehidupan bersama di sebuah rumah di sudut jalan Manteron 42 Sukaluyu Bandung waktu itu; mempunyai cerita, proses intimasi  mengenal karakter mendalam lebih personal sampai terjadi hubungan kerjasama kita yang sangat bermutu, salah satunya ilustrasi kover Hitam Semesta ini dan proses kreatif penggarapan layout artistik mereka di album berikutnya, Gemuruh Musik Pertiwi adalah kurasa langkah awal yang bagus untuk mengingat yang samar dan tidak detil dalam tulisan ini

–Oke! Aku rasa on track sekarang, semoga ini awal yang cukup  sebagai pembuka. 

Sumatera Joint Ritual with Medani

Sumatera Joint Ritual, adalah cara kami menyebut spirit rantau kami yang jauh dari kampung halaman sebagai identitas untuk semua cerita dan mimpi banyak terbentuk waktu itu. Bagaimana tidak ada obrolan seru selain membicarakan musik dan bualan sambil seruput kopi atau teh botol segar yang ditinggal si bos nasgor yang mangkal depan jalan rumah kontrakan setiap malamnya,  membuka program software grafis semacam Adobe atau CorelDraw mendesain logo atau artwork yang bisa berhari hari (FYI, Doddy Hamson menggarap kover vektor Panorama-nya yang fenomenal dikomputer kamar kala itu :D), karena memang kita hidup tidak mengenal tenggat waktu, kuliah? Itu sambil lalu saja, lebih hanya simbol mengabdi dan pergaulan saja, bermain gitar dengan amplifier yang kencang, sebuah kebebasan yang tidak mungkin bisa dilakukan dirumah ketika kamu hidup bersama orang tua dan keluarga, kemudian aksi air-headbang ketika beradu gelas dalam privat ritual kita di rumah itu, permainan putar balik kata fakta agar tidak kalah dalam forum ritual duduk melingkar adu gelas, Distorsi Mulut Setan! …Atau datang ke studio rental untuk sekedar jamming yang mana waktu itu sudah sama lagak total gaya dengan aksi panggung sesungguhnya, bahkan celetukan jokes seperti “Slayer (/) Pantera kayak begini ngga ya” seloroh di kontrakan kita ketika tanggal tua menghantui, hidup sederhana  sehingga (terpaksa) tidak untuk banyak mau dulu. Ya, kebanyakan hal-hal mandiri seperti itu. Hingga waktunya tiba, beberapa dari kita ada yang bertahan, ada yang ditarik ‘dealer‘ (-keluarga untuk jalan kebaikan). Haha. 

2003 adalah awalnya Komunal tercetus. Dari bentuk ketidakpuasan band sebelumnya, Ragadub. Doddy Hamson ingin yang lebih lagi. Sesuatu yang lebih menyerang. Agresi. Impiannya ini selalu dia utarakan, aku ingat bagaimana berapi-apinya dia waktu itu.

DH doodling, circa 2005

Doddy Hamson, Muhammad Anwar Sadat, Arie Khomaini, Reza Ai, boleh dibilang bentuk talian pertemanan yang menghasilkan hal-hal berkualitas sejauh aku bisa mengingat. Semangat berkawan yang semakin kuat belajar dari pengalaman mereka sebelumnya, menghantarkan visi dan karakter ketujuan yang di mau.

Komunal live at Classic Rock Bandung, 2004

Bermodalkan nyala api yang nekat, album pertama dirilis dengan tajuk Panorama di 2004, dibawah bendera Hamson Killer Records.  Label yang ditenggarai adalah usaha halal Doddy Hamson mengumpulkan uang dari hasil kelilingnya menjual makanan anjing dan kucing selama beberapa bulan di Ibukota.

Review yang memuaskan, bisik bisik dari mulut ke mulut, sedikit trik media-media standar, Panorama-pun menuai pujian. Angin segar mencerahkan dikancah musik metal yang saat itu sedikit membosankan. Selentingan disebut ‘Metal Rantau’, dengan embel embel “Segan” mengikuti. Akhirnya, panggung demi panggung dijejali. Sesuai namanya, tidak ada yang tidak ikutan sibuk jika Komunal punya jadwal panggung, terutama untuk kita kita yang berdiam dan tinggal di Manteron 42 waktu itu. Kekeluargaan. Aku pribadi selalu tidak menolak sekedar menjadi roadies atau tim hore Komunal atau sekedar ikut menyumbang suara di lagu ‘Dalam Kerinduan’ disetiap panggung lagu itu dinyanyikan. Yang pasti, rumah itu sepi ketika kita keluar untuk menuntaskan panggung, dan baru ada aktivitas kembali ketika kita sudah pulang kembali kerumah. Kehidupan seperti yang kita inginkan sejauh kita mau pada masa itu, Komunal melaju dengan Panorama, dan aku sedang memanaskan mesin yang meradang bersama Rajasinga untuk ‘Pandora’.  Goodtimes.

Komunal photosession at my room, 2005
Komunal photosession at my throne room, M42 circa 2004

Kegiatan rutin terjadi  seperti ini sampai ada waktunya kita berpisah. Tidak diperpanjangnya sewa kontrakan Manteron 42 itupun mewajibkan kita untuk berpencar, mencari kehidupan bertempat tinggal yang baru. Doddy Hamson menggambar situasi terkini waktu itu dalam selagu Disintegrasi : 

Hamparan membentang/ Mari menerkam menerjang/ Tinggalkan yang lelah/ Semangat takkan meredup/ Sambutlah kami kawan barumu untuk beraksi/ Disintegrasi/  Menatap ke depan/ Membangun budaya baru/ Barisan terdepan/ Realisasi masa depan

Tarankanua, original drawing on paper

Kehidupan militan yang dipunya menghasilkan perjumpaan jarang tapi berkualitas, Komunal mengumpulkan banyak materi dalam kurun 1 tahun dan bersiap masuk dapur rekaman kembali. Massive studio, dibilangan Cigadung Bandung Utara dikultuskan sebagai tempat rekam untuk 18 materi baru Komunal. Hampir satu tahun juga, proses rampung sampai mastering dan penemuan titel yang cocok untuk album kedua ini tercetuskan. Hitam Semesta. Diambil dari satu nomor paling gelap diantara 18 lagu lainnya. Track lagu yang paling aku favoritkan dalam album ini.

Obrolan untuk menggarap kover sudah beberapa kali dicetuskan oleh Komunal. Gamang? pasti! Meskipun kita sudah mengenal satu sama lain, tapi sungguh adalah sesuatu yang tidak aku bisa sangkal ini adalah kehormatan dan sebuah kesempatan dengan tanggung jawab yang besar. Berawal dari membuat beberapa desain tshirt untuk Komunal di era awal mereka mulai membangun departemen merch Komunal. Doddy Hamson pula juga yang semacam memberikan energi dan spirit yang besar untuk aku mengisi kekosongan posisi ilustrator waktu. Sangat positif sekali dia. Sampai ketika waktunya memungkinkan untuk serius, akupun mulai menggarap ilustrasi untuk project ini. Sketsa pendahuluan sudah beberapa kali aku tawarkan, beberapa menjadi ilustrasi pendamping di sleeve lirik, hingga akhirnya dicetus objek yang diinginkan untuk menyimbolkan Komunal dan Hitam Semestanya itu sendiri dengan ikon Gagak. Aku lupa bagaimana gagak menjadi ikon mereka waktu itu, yang pasti Doddy Hamson yang datang mengutarakan idenya tentang ini dengan sketsa outline/ garis khas Doddy Hamson yang avant garde.

Hitam Semesta, sang gagak yang membusung terlihat, aku buat di kertas art murahan Concorde paper, 59×42 cm waktu itu dengan teknis gambar menggunakan tinta china, akrilik, bahkan Tip-ex (!!). Dari segi teknis, ini adalah project pertama aku untuk beralih kebidang media yang lebih besar waktu itu, 2007. Ketidakpuasan pastinya bahkan ingin mengulang kembali kembali imaji Gagak yang ada sekarang kala itu, namun Doddy Hamson sekali lagi menegaskan, ini sudah cukup untuk menjadi visual dan perwakilan dari Hitam Semesta itu sendiri.  Aku tidak bisa berbuat banyak lagi. Akhirnya, aku sendiri yang sedang mencoba upgrade keterampilan dan mengasah kebisaan dan eksperimen kala itu, menjadikan Hitam Semesta adalah titik balik dari perjalanan aku sebagai seorang perupa. Sehingga ianya kutetapkan sebagai sebuah masalah personal terse diri, hasil sebuah yang jujur, lebih ke raw, karena hanya berpikir menghidupi momen yang ada diwaktu itu menyediakan. Keterbatasan pengetahuan dan referensi yang seadanya kala itu tidak merubah semangat yang ada. Justru aku rasa ini nampaknya menghidupi spirit dan passion aku di masa itu, ketika aku mencoba mengumpulkan kembali tangkapan memori di hari ini.

Hitam Semesta, original art on paper

13 tahun hari ini, Hitam Semesta itu dibuat, dan belum pernah dipublikasikan secara bentuk karyanya. Tidak semua memori  atau potret kreatif pengerjaan ilustrasi kover yang bisa aku rangkum dan ungkap disini. Tapi tidak dengan ketika mendengarkan kembali tembang-tembang yang mereka lantunkan, aku masih merasakan seperti bagaimana catchynya part gitar dan anthem Medani yang spirit berbanding lurus dengan highlight momen kehidupan aku waktu itu yang katakanlah ‘no future’, dalam konteks: “tidak ada waktu selain hari itu”. Tarankanua, yang sebenar potret kehidupan kami pemuda rantau, yang menjadi pemicu tercipta dan bersandingnya Anak Haram Ibu Kota dari Rajasinga,… atau, sensasi pertama ketika mendengarkan gelapnya balada yang coba Doddy Hamson dalam tiap penggal Hitam Semesta itu sendiri, Membius. Musik mereka ini abadi, paling tidak itu yang terunggah di benakku. Atau kesamaan rasa dalam Higher Than Mountain, sensasi emosi masih tetaplah sama, dengan aku di 2007 yang  on repeat mendengarkan materi mereka selama pengerjaan kover ini, begitupun di hari ini aku mendengarkan dan menulis essay di jurnal ini.

This works is Timeless. Aku tidak bisa menggugat klaim diksi penuh makna ini untuk sebuah karya yang pernah terjujur pernah aku buat, tanpa komodifikasi dan ekspekstasi, yang pastinya tidak lepas dari kebesaran 18 lagu yang ada didalamnya. Komunal: Born in Blues, Raised on Rock, and Grow up in Metal.

Heavy Metal Tetap Berkibar!

…because you know i am alone long way from home

KOMUNAL ‘Hitam Semesta’ & ‘Gemuruh Musik Pertiwi’

12″ Record and Double CD Coming Out Soon by Disaster Record.

www.disasterposse.com

The Flames That We Shared

Prelude A Trilogy  Gergasi Api Visual Single Pt.1 (Anoa Records, 2021)

The Flames That We Shared adalah single pertama dari Gergasi Api, project duo dari Ekyno (Full Of Hate) dan Alexandra J Wuisan (Sieve, Cherry Bombshell). Perkenalan dengan mereka berdua tidak sengaja ditemukan oleh Sayiba Von mencekam perihal project Gloom Wanderernya. Ekyno dan Sandra sedang  rekam vokal di Syailendra Studio, sekitar September 2020 waktu itu. Sosok Sandra dan Ekyno sebelumnya sudah sering saya dengar kiprah di band terdahulunya ketika awal menetap di Bandung. Mendengar mereka merampungkan project duo, saya diam-diam menjadi penasaran dan ingin sekali mendengarkan hasil rekam mereka hari itu, tapi urung. Mungkin nanti, ketika semuanya sudah selesai di proses.

Selang beberapa bulan lamanya, dari laman sosmed instagram, Ekyno mengontak saya pertama kali disana, mengabarkan kalau materi yang mereka bikin sudah bisa didengarkan dan menanyakan kesediaan untuk menggarap visual untuk kover Gergasi Api. Tawaran saya terima dengan isyarat mempersilakan Ekyno mengirimkan demo dan liriknya untuk di dengar. Dan ada hal yang menarik ketika mendengarkan materi pertama mereka waktu itu The Red Knight dan The Flames That We Shared.  Beat! Komposisi harmoni dan kord yang monoton Ekyno mengingatkan kembali selintas kepada kebesaran riff atmosfir Black Metal era awal. Kocokan gitarnya yang ramai di setiap senar yang keluar  mungkin bisa jadi faktor. Dan seperti saya merasa tidak mempunyai masalah dengan itu, bahkan menjadi nilai plus selain kemonotonan musiknya yang membius. divisi vokalnya Alexandra menuai sesuatu yang dreamy; secara bersamaan. Vokal magis Sandra masih kuat mencengkeram disetiap rima dan musik yang mengikut. Saya selalu mengandalkan insting dan sensasi pengalaman yang terpukau ketika mendengar demo atau materi yang didengarkan pertama kali untuk mengiyakan ikut dalam project proses visual sebuah album. Ini menjadi standar personal saya untuk tergerak dan mau ambil serta. Dan waktu seolah berpihak meskipun di  awal saya masih buta dengan konsep dan brief visual yang Gergasi Api inginkan, tapi beberapa bayangan sudah ada dalam kepala untuk merepresentasikan gambaran umum visual yang bisa di keluarkan.

 Seperti halnya sebuah pendekatan, kali pertama kita meeting secara online belum menemukan insight yang berarti, ada banyak hal yang coba saya tampung dalam bentuk list keinginan, harapan dan keinterestan Sandra dan Ekyno. Faktor terbesar tentunya juga barisan lirik-lirik Sandra yang saya coba pahami dan cermati. Dan dalam rangka membongkar wacana visual inipun semakin meruncing ketika Sandra memberikan sebuah quotes.

“To be able to manage the grief. To be able to feel the flames of the soul of our soul mate who passed away, we first have to go through death (figurative), go to the underworld, and be reborn (transformation) so our flames resides in both of our souls.”

Oke, aku terdiam untuk berapa saat memahami apa yang ada dalam kalimat ini.

Pertemuan kita berikutnya saya kembali datang dengan membawa satu grand rough sketch, konsep serta preview logo hasil pengejawantahan tentang apa yang bisa saya cermati dan lakukan dalam memvisualkan tiga materi demo lagu yang didengarkan, tiga fragmen scene yang terpisah. Seperti halnya masing-masing lagu yang nantinya akan disatukan dalam frame sleeve artwork EP Gergasi Api. Gayung bersambut baik juga hangat oleh Alexandra dan Ekyno, visi akhirnya kita melebur menjadi satu untuk project ini.

Dari tinjauan logo dan ikon, saya merepresentasi logo mereka yang saya harap bisa menjadi cetak biru untuk di develop dan dikembangkan secara detil tanpa menghilangkan estetika dan makna di kedepan harinya oleh siapapun artist/seniman/ilustrator yang mereka ajak untuk kolab di departemen artworknya. Saya membebaskan diri menggunakan hand lettering untuk logo Gergasi Api sebagai alternatif preview. Sebelumnya juga mencoba melakukan pendekatan typefont dengan style vintage art-deco, dengan beberapa sentuhan rekonstruksi tanpa melupakan sisi artistiknya. Pertimbangan pemilihan fontnya sendiripun selain dari poin-poin yang saya garis bawahi tentang Sandra yang menyenangi membaca karya-karya vintage semacam JR Tolkien,  juga sebenarnya meraba karakter musik dan bernyanyi yang Gergasi Api usung gothic, dark tanpa mengesampingkan unsur beat elektronik dan distorsinya yang modern. Akan tetapi typefont  ini urung dijadikan sebagai logo bagi Ekyno dan Alexandra. Sehingga terpilih tulisan tangan yang saya bubuhi seperti terlihat yang kemudian touch up final dalam bentuk vektor di Adobe Illustrator. 

Adalah sebuah penggalan awal dari bait yang dinyanyikan oleh Sandra yang memulai ini semua ; “…Go, any place be All..” yang sepertinya memberkati tanganku ketika mencoret sketsa awal ilustrasi lagu ini tercipta, membuat keberadaan semakin jelas sejauh saya memandang, fragmen pertama juga single yang pertama akan dirilis adalah The Flames That We Shared, aku tetapkan sebagai  sebuah ode untuk api yang terus berkobar merelakan sebagian percikan percikannya hilang. Balutan tematik merayakan perasaan emosi kehilangan dan penemuan kembali citra diri sebagai perspektif dari lirik menjadi sebuah makna rentang waktu yang pendek kita yang ditinggal punya yaitu adalah ‘Sekarang’.